Minggu, 29 November 2009





Read more!

Jumat, 20 November 2009


http://www.storage.to/get/Ws2qzYa7/admnegara-zakaria2.pdf


Read more!

Hakikat Dakwah Islam


Bahwa diantara hakikat dakwah Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya adalah dalam rangka mewujudkan kesejahtaraan umat baik di dunia dan di akhirat, dengan bermanhajkan Islam, berpedoman pada Al-Qur’an dan sunnah. Dan tentunya, selain mewujudkan itu, bahwa hakikat dakwah juga ingin memberikan kontribusi perbaikan; terutama pada tiga pokok penting, yaitu:


1. Menyeru kepada manusia seluruhnya dan umat Islam secara khusus untuk berserah diri (beribadah) secara total kepada Allah SWT Yang Maha Esa dan tidak mempersekutukan-Nya dengan tidak menjadikan selain Allah sebagai sesembahan.

2. Menyeru kepada mereka yang telah beriman kepada Allah untuk selalu ikhlas dalam berbuat, dan selalu membersihkan diri dari segala kotoran dzahir dan bathin serta dari perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam.

3. Menyeru kepada manusia untuk melakukan revolusi menyeluruh terhadap sistem dan rezim pemerintahan konvensional yang bathil yang selalu melakukan kedzaliman dan kerusakan di muka bumi ini, melepas diri mereka dari belenggu monotheisme ideologi dan praktek-praktek yang menjurus pada perbuatan dosa dan keji, untuk selanjutnya diserahkan kapada hamba Allah yang salih dan yang beriman kepada Allah dengan ikhlas dan kepada hari akhir, serta berpegang teguh kepada agama yang benar dan tidak berbuat sombong dan dzalim.

Tiga hakikat diatasn merupakan prinsip yang sangat gamblang dan terang seterang sinar mentari di siang bolong. Namun ironisnya cahaya ini lambat laun meredup, hakikat kebenarannya telah terhijab seiring dengan menjamurnya kebodohan, kejumudan dan keterbelakangan, hingga akhirnya umat Islam membutuhkan kembali akan pencerahan dan sentuhan Islam nan agung, baik dari segi visi dan misinya, yang tentunya akan memperlambat jalannya da’wah untuk kalangan non muslim dan kepada mereka yang belum tersentuh akan cahaya dan hidayah Islam.

Sesungguhnya penghambaan diri kepada Yang Maha Esa yang selalu diserukan oleh Islam, bukan sekedar mengajak mereka untuk beribadah dan menghambakan diri kepada Allah SWT, namun di luar itu, mereka juga diseru untuk merasa bebas dan lepas dari ikatan selain Islam seperti yang pernah dilakukan oleh umat jahiliyah dahulu. Dan tidak menyeru mereka untuk hanya mengakui bahwa Allah SWT Pencipta alam semesta ini, Pemberi rizki kepada seluruh makhluk-Nya, sehingga Dia patut disembah tanpa mengakui-Nya dan menjadikan-Nya sebagai Penguasa kehidupan dari segala permasalahan yang ada di muka bumi ini. Kita ketahui bahwa kehidupan dunia dan problematikanya terbagi pada dua bagian penting :

1. Kehidupan yang berhubungan dengan agama.

2. Kehidupan yang bukan saja terbatas pada hubungan agama namun juga meliputi kehidupan dunia dan segala permasalahannya.

Dan seorang muslim pada bagian pertama dituntut untuk mengabdikan dirinya kepada Allah semata yang melingkupi segi aqidah, ibadah dan segala sesuatu yang memiliki hubungan dengan kehidupan individu dan problematikanya.

Adapun pada bagian kedua mencakup pada kehidupan duniawi dan cabang-cabangnya seperti pembangunan, kehidupan politik, sosial, akhlak, dan lain-lain yang pada kebanyakan orang menganggapnya tidak memiliki hubungan dengan Allah dan hukum-hukum-Nya, sehingga mereka bisa berbuat semaunya dan sekehendaknya, tanpa mengindahkan hukum dan syariat Allah, membuat undang-undang atau hukum yang bertentangan dengan syariat Allah. Persepsi ini merupakan kesalahan yang sangat fatal. Namun bagi para aktivis da’wah di negeri ini –dan tentunya yang berada diseluruh penjuru dunia, karena memang agama Islam adalah satu, tidak ada perbedaan sedikitpun, Kitabnya satu yaitu Al-Quran, yang tidak ada kebatilan sedikitpun, baik di hadapan dan di belakangnya- menganggap bahwa persepsi mereka adalah salah dan menyimpang dari ajaran Islam, dan harus diberantas sampai ke akar-akarnya, karena pengertian ubudiyah secara parsial akan mengaburkan keabsahan dan kemurnian ajaran Islam dan menghilangkan ideologi Islam yang benar.

Adapun pendapat dan keyakinan kami adalah seperti yang akan selalu kami serukan kepada seluruh umat manusia dimuka bumi ini; bahwa ubudiyah kepada Allah yang telah dibawa dan diserukan oleh nabi Adam AS hingga Rasulullah SAW adalah peng-ikraran diri bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT, tempat bergantung semua makhluk, pembuat keputusan/undang-undang (hakim), Dzat yang wajib ditaati, Pemilik dan Pengatur segala urusan makhluk-Nya, Maha mengetahui segala perkara mereka, baik yang tersembunyi maupun yang tampak, Yang berhak memberikan ganjaran setiap amal dan perbuatan hamba, sehingga para makhluk-Nya patut tunduk dan meyerahkan diri kepada-Nya, ikhlas dalam menganut ajaran-Nya, tunduk terhadap kebesaran-Nya, segala urusan dan perkaranya diserahkan kepada-Nya, baik individu ataupun sosial, yang berkaitan dengan akhlak, politik, ekonomi, maupun sosial. Sebagaimana yang tertera dalam perintah Allah SWT :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً

“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian kedalam agama Islam secara totalitas”. (QS 2 : 208)

yaitu perintah untuk memeluk agama Islam secara kaffah (totalitas), dengan seluruh kehidupan, tidak melakukan bantahan sedikitpun, dan tidak menduakan Kekuasaan dan Kerajaan Allah pada makhluk lainnya. Tidak menganggap bahwa ada sisi kehidupan yang terlepas dari pantauan Allah sehingga bisa bebas berbuat dan membuat undang-undang sekendaknya, atau memilih dan mengekor pada sistem dan undang-undang atau hukum konvensional yang bathil sekehandaknya.

Inilah maksud dari pengertian ubudiyah (penghambaan diri) kepada Allah yang hendak kami sosialisasikan dan kami syiarkan dan da’wahkan kepada seluruh umat manusia, kaum muslimin dan umat lainnya, sehingga mereka mau beriman dan mengakui akan kekuasaan Allah dan tunduk kepada-Nya.

“Kami menginginkan kepada mereka yang mengaku dirinya beriman kepada islam dan berpegang teguh kepada iman, untuk selalu mentazkiyah (mensucikan) dirinya dari sifat kemunafikan dan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam”.

Maksud nifaq disini adalah mengaku dirinya beriman kepada sistem tertentu dan loyal kepadanya, berpegang teguh kepada prinsip-prinsipnya, namun pada sisi lain dia merasa tenang dan rela denga sistem yang bertentangan dengan yang semula diyakini. Dan tidak berusaha atau bersungguh-sungguh untuk merubah sistem tersebut kepada yang lebih baik, dengan mengerahkan tenaga dan potensi yang dimiliki guna menghancurkan segala sistem kebatilan hingga keakar-akarnya, atau adanya kebatilan yang ada dtengah-tengah masyarakatnya namun dia merasa hidup tenang dan tentram tanpa ada usaha sedikitpun memperbaikinya.

Sikap diatas merupakan contoh orang munafik, karena pada satu sisi beriman kepada suatu sistem, namun pada sisi lain merasa tenang terhadap kemungkaran dan kebatilan yang terjadi. Padahal diantara tuntutan keimanan adalah memiliki keinginan yang kuat dalam sanubarinya untuk menegakkan kalimatullah (agama Allah) dan menjadikan agama dan segala urusannya hanya untuk Allah SWT, memberantas segala kekuasaan yang bertentangan dengan Islam, dan siap mengemban amanah da’wah Islam untuk disebarkan kepada segenap manusia, hatinya tidak merasa tenang dan tentram jika agamanya dilecehkan orang.

Begitupaun hendaknya, jika keimanan telah terpatri dalam hati; memiliki kecemasan dan kekhawatiran serta tidak merasa tenang sebelum keadilan kembali tegak dan kokoh dibawah panji-panji Islam, atau sebelum ajaran Islam diterapkan oleh seluruh umat manusia. Namun jika merasa ridla atau puas dengan keadaan hidupnya di bawah sistem dan undang-undang konvensional yang bathil, dan tidak berusaha menerapkan ajaran Islam kecuali pada permasalahan yang terbatas seperti pernikahan, thalak dan warisan saja, -jika keadaannya demikian- sungguh hal ini merupakan kemunafikan yang nyata, keislamannya hanya sebatas KTP saja, yang tercatat dicatatan sipil, namun diluar itu, ia enggan menerapkan Islam dan tidak mau tunduk pada syari’at-Nya, kecuali hanya berpura-pura, hanya karena ingin mengharap kesenangan hidup di dunia yang fana.

Harapan kami adalah agar mereka yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada keimanannya untuk selalu membersihkan diri mereka dari sifat kemunafikan dan prilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sesungguhnya diantara hak keimanan adalah –setidaknya- memiliki cita-cita yang tertanam dalam lubuk hati untuk menjadikan sistem kehidupan, ekonomi dan sosial dan politik seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW tegak kembali, mulia dan tinggi, dan diaplikasikan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa ada seorangpun yang menentangnya, atau menjadi penghalang akan perjalanannya. Bagaimana mungkin seseorang bisa hidup dan rela di tengah kehidupan yang memiliki sistem yang bathil ? bagi mereka yang berani menegakkan bendera kebatilan sungguh merupakan kesesatan yang sangat nyata, dan penyimpangan yang melampaui batas serta pembangkangan yang amat besar. Semoga Allah SWT melindungi kita dari keburukan seperti hal diatas.

Adapun maksud dari kontradiksi yang dituntut untuk dihindari –tanpa ada perbedaan antara umat islam yang kental agamanya dengan orang yang baru tersentuh ajaran Islam- adalah adanya pertentangan antara perkataan dan perbuatan. Sebagaimana yang dimaksud disini adalah bertentangannya aktivitas sehari-hari dengan kegiatan yang lain. Karena Islam tidak mengajarkan kepada umatnya untuk mentaati perintah dan berpegang teguh pada ajaran-ajarannya secara parsial, sehingga pada sisi lain boleh melakukan apa saja yang bertentangan dengan ajaran Islam, atau berbuat maksiat dan melanggar konstitusi Allah. Sebagaimana tuntutan lainnya adalah menyerahkan seluruh jiwa raganya dan kehidupannya untuk Allah SWT, tidak pernah melakukan pelanggaran terhadap segala yang telah diperintahkan, dan tidak mengambil undang-undang apapun kecuali undang-undang Allah SWT yang universal, dan mencelupkan dirinya dengan celupan Allah, tidak terkontaminasi dengan kehidupan dunia yang fana. Selalu memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya saat dirinya tercebur ke dalam perbuatan salah dan maksiat, atau terjerumus ke dalam jurang yang menyesatkan. Orang yang mengaku dirinya beriman kepada Allah SWT, mendirikan shalat, berpuasa dan menunaikan ajaran-ajaran Islam lainnya, namun pada sisi lain merasa merdeka dan tidak memiliki ikatan terhadap hukum dan syari’at Allah SWT, maka yang demikian disebut dengan pertentangan yang dapat menafikan nilai-nilai ubudiyah. Mengaku beriman kepada Allah dan loyal kepada ajaran-ajaran-Nya, tapi saat bergelut dalam kehidupan duniawi, dan berkecimpung dalam kehidupan berpolitik, ekonomi dan sosial, tidak ada sama sekali ajaran Islam yang menjadi pegangan hidup dan memberikan pengaruh pada dirinya apalagi menampakkan dirinya sebagai penganut Islam sejati.

Cela dan kehinaan mana yang lebih besar dari yang demikian ? mereka berikrar setiap pagi dan sore : “Bahwa kami tidak menyembah kecuali kepada Allah dan memohon pertolongan kecuali kepada-Nya”. Namun setelah itu sama sekali tidak ada atsar (pengaruh) akan ikrarnya, baik dalam dirinya dan kehidupannya sehari-hari. Padahal segala teori ataupun ideologinya haruslah tunduk pada ketentuan yang Maha Perkasa dan Maha Sombong di muka bumi ini, seluruhnya tanpa terkecuali harus berserah diri kepada-Nya dan tunduk pada keperkasaan-Nya.

Itulah maksud dari kontradiksi dan tanda-tandanya, dan inilah dasar dari penyakit yang banyak menimpa kaum muslimin baik secara moral dan sosial. Selama penyakit moral ini masih melekat dalam diri umat Islam, maka sangat sulit diharapkan untuk dapat menghindar dari kehinaan, kemerosotan dan kejumudan, dan penyakit ini akan terus menjalar dan menular kepada generasi selanjutnya, hingga akhirnya mengarah pada titik kejatuhan dan kehancuran.

Dan yang lebih ironi lagi adalah para ulama dan masyaikh yang tidak menyadari akan krisis tersebut, mereka hanya mengajarkan bahwa dalam hidup beragama hanyalah terbatas pada kalimat syahadat, mendirikan shalat, berpuasa dan menunaikan ibadah ritual lainnya. Mereka berkeyakinan setelah memenuhi ajaran tersebut dirinya akan terjamin dari azab dan siksa neraka, bahkan akan mendekatkan dirinya pada pintu surga dan tidak jauh darinya, walaupun pada sisi lain dia melakukan kemungkaran dan kemaksiatan, atau mengikuti pemimpin yang mereka sukai walaupun mereka kafir dan sesat, atau memilih ideologi dan pandangan-pandangan palsu yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Sungguh sangat berani melecehkan agama Islam dengan hanya memandang bahwa agama hanya terbatas pada kehidupan ritual belaka, menganggap bahwa dengan menggunakan nama Islam akan diakui oleh catatan sipil sebagai orang Islam sudah cukup, seakan mereka seperti orang yang dimaksudkan Allah SWT dalam firman-Nya

لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ إِلَّا أَيَّاماً مَعْدُودَةً

Mereka berkata : “kami sama sekali tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya beberapa hari saja”. (QS. 2 : 80)

Diantara hasil dari menyebarnya penyakit menular ini dapat dilihat dalam ruh dan tubuh kaum muslimin; ada diantara mereka yang menganut ajaran komunis, nazi, borjouis, demokratis dan ajaran-ajaran konvensional bathil lainnya yang diimpor dari Timur dan Barat. Banyak diantara mereka –baik dari kalangan pejabat, pemimpin dan masyarakat- yang tidak sadar ataupun sadar sedang menapaki jalan kesesatan dan kekufuran, bahkan ada diantara mereka yang bangga dan dengan angkuh dan sombong berdiri dijalan kesesatan tersebut tanpa ada alasan yang benar.

Hal tersebut merupakan fenomena yang harus diberantas dalam rangka mewujudkan dan mengaplikasikan nilai ubudiyah (pengabdian) kepada Allah secara kaffah (menyeluruh), tulus dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam karena Allah SWT, bersegera membersihkan diri dari segala kemunafikan dan ajaran-ajaran yang bertentangan dan berseberangan dengan ajaran Islam, dan tentunya –tidak bisa dipungkiri memang- tidak akan terwujud kecuali dengan melakukan revolusi secara menyeluruh terhadap sistem dan menajemen hidup yang dikelilingi oleh kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan, sistem dikuasai oleh mereka yang selalu berbuat penyimpangan terhadap ajaran dan syariat Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW, lalai dalam beribadah dan berprilaku congkak.

Selama krisis ini masih menyelimuti dunia, dan pemerintahan masih dipegang oleh mereka, selama bidang keilmuan dan science, etika (adab), pengetahuan, undang-undang pemerintahan dan sistem kenegaraan, industri, perdagangan dan kekayaan, masih berada di bawah pengaruh dan tangan mereka, maka sulit bagi seorang muslim untuk hidup dengan tenang dalam rangka menjalankan prinsip yang mereka yakini sesuai dengan manhaj rabbani, bahkan sulit bagi mereka untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata mereka kecuali akan menemui berbagai benturan dan rintangan.

Mustahil bagi seorang muslim menyebarkan agama Islam yang komprehensip dengan segala ketentuan dan cabang-cabangnya, sedang ia masih hidup di tengah negara yang menggunakan undang-undang selain undang-undang Allah, dan berjalan bukan pada manhaj yang di ridlai Allah SWT. Bahkan sangat sulit baginya untuk mentarbiyah keluarganya dengan ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip agama Allah (Islam), membina dengan Akhlak dan etika islam yang murni. Karena rezim kekafiran tidak akan pernah rela terhadapnya dan akan terus berusaha menghalangi langkah mereka dalam menjalankan dan mengaplikasikan apalagi menyebarkan ajaran Islam, bahkan dengan cara membunuhpun akan mereka lakukan, kecuali mereka mau tunduk dan patuh kepada aturan yang mereka buat, berprilaku seperti mereka, sehingga secara berangsur-angsur –jika menuruti kemauan mereka- akan lepas atribut Islam yang mereka sandang, akhlak mereka hancur sementara mereka tidak sadar.

Realisasinya adalah bahwa seorang muslim yang mukhlis harus membersihkan dirinya dari benih-benih kemungkaran dan kedzaliman dengan cara mengaplikasikan hukum dan undang-undang dan syariat Islam secara adil, lurus dan benar.

Sekali lagi saya katakan, bahwa semua ini tidak akan terealisir dan hanya akan menjadi impian belaka selama dunia ini masih berada di bawah kendali para penguasa dzalim dan suka berbuat makar, berbuat kerusakan di muka bumi, dan menjalankan pemerintahan sekehendak dan hawa nafsu mereka. Fakta yang telah kita alami memang demikian, bahwa saat para pengusasa dzalim menguasai pemerintahan, maka orang nomor satu akan yang menjadi penghalang perkembangan ajaran Islam adalah mereka, merekalah yang akan selalu menghalangi terwujudnya perdamaian dan keadilan.

Kita sadari memang sulit menggapai cita-cita dalam memperbaiki dunia, mengembalikan segala urusan dunia ke jalan menuju cahaya ilahi, selama para tughat dan pembuat makar menguasai dan memegang tampuk pemerintahan, baik yang berskala kecil ataupun besar.

Karena itu diantara tuntutan, realisasi dan wujud pengabdian kita terhadap Allah dan Islam adalah bersungguh-sungguh dan giat mengerahkan segala potensi yang kita miliki secara berkala dan berkesinambungan untuk menghancurkan pemerintahan yang kufur, sesat dan dzalim hingga keakar-akarnya dan menggantinya dengan pemimpin yang adil dan pemerintahan yang baik dan benar.

Kemungkinan sebagian kita ada yang bertanya-tanya : bagaimana caranya merevolusi kekuasaaan dan pemerintahan tersebut ? dapat kami jawab, bahwa pada dasarnya usaha ini tidaklah teralisir melalui angan-angan dan mimpi saja, dan merupakan sunnatullah yang ada di muka bumi ini bahwa ada diantara manusia yang selalu berbuat kemungkaran dan kedzaliman, dan memegang pemerintahan dengan cara batil.

Usaha ini tentunya memerlukan strategi dan energi, perlu adanya karakter yang tangguh dan akhlak yang mulia pada setiap orang yang siap mengemban amanah ini, sehingga ia dapat menjalankan roda pemerintahan secara adil dan bijaksana.

Dan merupakan sunnatullah juga bahwa Allah akan mengutus seseorang yang dikehendaki yang memiliki sifat terpuji dan akhlak yang mulia serta kemampuan yang memadai untuk mengemban amanah da’wah dan memangku jabatan dalam pemerintahan. Namun jika ada sekelompok umat yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memiliki sifat (karakteristik) dan akhlak yang mulia, namun tidak pandai mengoperasikan urusan dunia. Dan pada sisi lain ada sekelompok manusia yang tidak memiliki akhlak dan sifat terpuji, suka berbuat kedzaliman, dan sombong, namun memiliki kapabilitas dalam memangku jabatan dan mengopersikannya, maka tetap tidak menganggapnya sebagai sunnatullah (hukum alam), karena pada akhirnya nanti mereka akan selalu menyebarkan kefasikan dan kedzaliman dan kerusakan di muka bumi, berbuat sesuai dengan hawa nafsu.

Adapun cara merevolusi yang kami maksudkan adalah dengan mempersiapkan jamaah yang shaleh, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, berpegang teguh kepada akhlak yang mulia, memiliki sifat dan karakteristik yang terpuji sebagai syarat utama dalam mengoprasikan urusan dunia secara adil, memiliki izzah dan wibawa saat berhadapan dengan pemimpin yang kafir dan sesat beserta antek-anteknya yang telah berperan aktif dalam menyebarkan krisis multidimensi di seluruh dunia, dan memiliki kemampuan, keterampilan dan kompetensi yang lazim dalam memegang tampuk kekuasaan.

_________________________________________________

Makalah ini adalah bagian dari ceramah ust. Abul A’la Al-Maududi yang berjudul “Ad-Da’wah Al-Islamiyah Fikrotan wa Manhajan –da’wah Islam secara fikrah dan manhaj-“ pada acara pertemuan jama’ah Islamiyah yang diadakan di desa “Darul Islam di India” pada bulan April, tahun 1945 M, yang dihadiri oleh sekuruh anggota jamaah Islamiyah di India saat itu.


Read more!

Sabtu, 14 November 2009

MELEPAS BELENGGU TAQLID


“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar”. (Fusshilat: 53)


Dr. Muhammad Abdullah As-Syarqawi mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa sesungguhnya Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi, di dalam Al-Qur’an telah mendorong akal manusia agar senantiasa memperhatikan, berpikir, serta merenung agar akal dan kalbunya merasa puas terhadap aspek ketuhanan, risalah dan kebangkitan.

Sungguh anugerah terbesar Allah kepada umat manusia adalah akal. Jika potensi ini tidak difungsikan atau difungsikan tidak maksimal, maka akan melahirkan sikap jumud yang membawa kepada taklid dan fanatisme buta. Justru Islam datang membawa prinsip keseimbangan (washathiyyah) setelah ideologi sebelumnya sangat kental dengan jumud dan fanatisme. “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang wasath (adil, pilihan, seimbang)”. (Al-Baqarah: 143)

Tindakan mengabaikan anugerah akal bisa menjerumuskan seseorang ke dalam siksa Allah seperti yang disaksikan sendiri oleh para penghuni neraka ketika mereka menyesali sikapnya dengan mengatakan, “Sekiranya kami mau mendengarkan atau menggunakan akal pikiran, niscaya kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Al-Mulk: 10)

Untuk keluar dari jebakan taklid buta, umat Islam dituntut untuk berani melakukan “ijtihad” sebagai salah satu pilar tegaknya syariat dalam kehidupan manusia. Ketertinggalan umat Islam dari hakikat agama dan persoalan dunia, tiada lain karena ketertutupan akal mereka yang hanya cukup dengan apa yang mereka terima secara turun temurun (taklid buta). “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk”. (Al-Baqarah: 170)

Di dalam ayat lain, Allah mencela sikap taklid buta dengan menjelaskan keterlibatan syaitan yang membelenggu manusia untuk tetap bersikap jumud dan mengedepankan fanatisme. ““Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa apai yang menyala-nyala”. (Luqman: 21)

Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi mengingatkan bahwa jati diri umat Islam sekarang ini telah hilang; ciri-ciri peradabannya telah cerai berai dan terlupakan. Saat ini umat Islam hidup di bawah kekuasaan peradaban asing dengan segala aspek negatif dan penyimpangannya. Bahkan, justru kita menemukan bahwa ketundukan umat Islam terhadap kekuasaan peradaban asing adalah lebih besar daripada ketundukan orang-orang Barat sendiri selaku pemilik sekaligus pewaris peradaban tersebut. Ini berarti, bangunan masyarakat Islam saat ini telah miring, pilar-pilarnya telah condong ke bawah dan tidak mampu lagi berdiri tegak. Dalam kondisi labil seperti ini, umat Islam dituntut untuk melepaskan belenggu taklid buta dan sikap ikut-ikutan.

Dengan ijtihad, Allah hendak memberikan karunia kepada hamba-Nya, agar aktifitas ibadah yang mereka lakukan didasarkan kepada pemahaman (ijtihad), sebagaimana Allah mewajibkan jihad agar para hambanya yang shalih menjadi para syuhada. Apabila keutamaan mujahid adalah karena darah yang tercurah di medan perang, maka keutamaan para mujtahid adalah karena mereka mengerahkan segenap kesungguhan di dalam menggali hukum dalam rangka meninggikan kalimatullah.

Di sini, Allah telah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad (dalam pengertian secara bahasa yakni bersungguh-sungguh) dan menguji ketaatan mereka di dalam lingkup persoalan ijtihad, sebagaimana ketaatan mereka diuji dalam persoalan-persoalan lainnya. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akam menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu”. (Muhammad: 31)

Dalam pandangan Dr. Wahbah Zuhaili, ijtihadlah yang akan menghidupkan kembali syariat di atas muka bumi Allah ini. Syariat tidak akan bisa bertahan selama aktifitas ijtihad tidak hidup, tidak memiliki daya kerja dan daya gerak. Sebab berbagai faktor pertumbuhan dan perkembangan kehidupan serta pentingnya penyebaran syariat Islam ke seluruh pelosok dunia meniscayakan kebutuhan akan ijtihad, terutama di masa kita sekarang ini, masa yang serba instan, komplek, serta penuh dengan tantangan peristiwa dan permasalahan baru. Sehingga tanpa ijtihad dan melepaskan belenggu taklid buta, syariat Islam akan kehilangan relevansinya di setiap zaman dan tempat. Ia akan membuat manusia merasa sempit dengan kehadirannya dan akan menimbulkan kekeliruan di dalam memandang agamanya. Padahal ijtihad merupakan salah satu karakteristik syariat Islam yang tidak akan tertutup pintunya sampai hari kiamat. Di sinilah bukti rahmat Islam yang akan membebaskan umatnya dari kesempitan. Allah menegaskan, “Dia tidak menjadikan di dalam agama ini suatu kesempitan bagi kalian”.(Al-Hajj: 78)

Mencermati realitas umat Islam dewasa ini yang semakin terpuruk dan tertinggal, maka karya nyata, kreativitas, ijtihad yang segar sangat ditunggu-tunggu untuk mengembalikan umat kepada kejayaannya yang gilang-gemilang dengan tetap komitmen dengan ajaran Islam yang komprehensif. Wallahu A’lam


Read more!

DAKWAH DI PARLEMEN

maraknya pemikiran dari kalangan kaum muslimin tentang dakwah di parlemen telah memunculkan sikap - sikap yang beragam ketika pada saat yang sama di negeri ini sistem yang dianut adalah sistem demokrasi. Lalu bagaimana dengan peran ummat Islam di parlemen?


Pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Majalah Al-Ishlah pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, yang pernah menjadi Mufti Kerajaan Saudi Arabia tentang hukum masuknya para ulama dan duat ke DPR, parlemen serta ikut dalam pemilu pada sebuah negara yang tidak menjalankan syariat Islam. Bagaimana aturannya?

Syaikh Bin Baz menjawab:

“Masuknya mereka berbahaya, yaitu masuk ke parlemen, DPR atau sejenisnya. Masuk ke dalam lembaga seperti itu berbahaya, namun bila seseorang punya ilmu dan bashirah serta menginginkan kebenaran atau mengarahkan manusia kepada kebaikan, mengurangi kebatilan, tanpa rasa tamak pada dunia dan harta, maka dia telah masuk untuk membela agama Allah swt. berjihad di jalan kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Dengan niat yang baik seperti ini, saya memandang bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen. Bahkan tidak selayaknya lembaga itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya.”

Beliau melanjutkan:

Namun bila motivasinya untuk mendapatkan dunia atau haus kekuasaan, maka hal itu tidak diperbolehkan. Seharusnya masuknya untuk mencari ridha Allah, akhirat, membela kebenaran dan menegakkannya dengan argumen-argumennya, niscaya majelis itu memberinya ganjaran yang besar.”

Pendapat Syaikh Al Utsaimin

Pada bulan Zul-Hijjah 1411 H. bertepatan dengan bulan Mei 1996 Majalah Al-Furqan melakukan wawancara dengan Syaikh Utsaimin. Majalah Al-Furqan: Apa hukum masuk ke dalam parlemen?

Syaikh Al-’Utsaimin menjawab:

“Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat, baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala’.

Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah untuk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya di mana setiap orang akan mendapat sesuai yang diniatkannya.

Namun, tindakan meninggalkan majelis ini sehingga diisi oleh orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah merupakan perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah swt. menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar menguasai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak.” (lihat majalah Al-Furqan – Kuwait hal. 18-19)

Pendapat Imam Al-’Izz Ibnu Abdis Salam

Dalam kitab Qawa’idul Ahkam karya Al-’Izz bin Abdus Salam tercantum:

“Bila orang kafir berkuasa pada sebuah wilayah yang luas, lalu mereka menyerahkan masalah hukum kepada orang yang mendahulukan kemaslahatan umat Islam secara umum, maka yang benar adalah merealisasikan hal tersebut. Hal ini mendapatkan kemaslahatan umum dan menolak mafsadah. Karena menunda masalahat umum dan menanggung mafsadat bukanlah hal yang layak dalam paradigma syariah yang bersifat kasih. Hanya lantaran tidak terdapatnya orang yang sempurna untuk memangku jabatan tersebut hingga ada orang yang memang memenuhi syarat.”

Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691- 751 H) dalam kitabnya At-Turuq al-Hukmiyah menulis:

Masalah ini cukup pelik dan rawan, juga sempit dan sulit. terkadang sekelompok orang melampoi batas, meng hilangkan hak-hak, dan mendorong berlaku kejahatan, kerusakan serta menjadikasn syariat itu sempit sehingga tidak mampu memberikan jawaban kepada pemeluknya. Serta menghalangi diri mereka dari jalan yang benar, yaitu jalan untuk mengetahui kebenaran dan menerapkannya. Sehingga mereka menolak hal tersebut, pada hal mereka dan yang lainnya tahu secara pasti bahwa hal itu adalah hal yang wajib diterapkan namun mereka menyangkal bahwa hal itu bertentangan dengan qowaid syariah.

Mereka mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai yang dibawa Rasulullah. Yang menjadikan mereka berpikir seperti itu adalah kurangnya memahami syariah dan pengenalan kondisi lapangan atau keduanya, sehingga begitu mereka melihat hal tersebut dan melihat orang-orang melakukan hal yang tidak sesuai yang dipahaminya, mereka melakukan kejahatan yang panjang, kerusakan yang besar, maka permasalahannya jadi terbalik.

Di sisi lain ada kelompok yang berlawanan pendapatnya dan menafikan hukum Allah dan Rasul-Nya. Kedua kelompok di atas sama-sama kurang memahami risalah yang dibawa Rasulullah saw. padahal Allah swt. telah mengutus Rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya agar manusia menjalankan keadilan, yang dengan keadilan itu bumi dan langit ini di tegakkan. Bila ciri-ciri keadilan itu mulai nampak dan wajahnya tampil dengan beragam cara, maka itulah syariat Allah dan agama-Nya. Allah swt. Maha Tahu dan Maha Hakim untuk memilih jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan tanda. Apapun jalan yang bisa membawa tegaknya keadilan maka itu adalah bagian dari agama, dan tidak bertentangan dengan agama.

“Maka tidak boleh dikatakan bahwa politik yang adil itu berbeda dengan syariat, tetapi sebaliknya justru sesuai dengan syariat, bahkan bagian dari syariat itu sendiri. Kami menamakannya sebagai politik sekedar mengikuti istilah yang Anda buat, tetapi pada hakikatnya merupakan keadilan Allah dan Rasul-Nya.”

Dan tidak ada keraguan, bahwa siapa yang menjabat sebuah kekuasaan maka ia harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan syariat. Dan berlaku ihsan, bekerja untuk kepentingan syariat meskipun di bawah pemerintahan kafir.

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan

Syekh Shaleh Al-Fauzan ditanya tentang hukum memasuki parlemen. Syekh Fauzan balik bertanya, “Apa itu parlemen?” Salah seorang peserta menjawab “Dewan legislatif atau yang lainnya” Syekh, “Masuk untuk berdakwah di dalamnya?” Salah seorang peserta menjawab, “Ikut berperan serta di dalamnya” Syekh, “Maksudnya menjadi anggota di dalamnya?” Peserta, “Iya.”

Syeikh menerangkan: “Apakah dengan keanggotaan di dalamnya akan menghasilkan kemaslahatan bagi kaum muslimin? Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah kepada Islam, maka ini adalah suatu yang baik, atau paling tidak bertujuan untuk mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian kemaslahatan, jika tidak memungkinkan kemaslahatan seluruhnya meskipun hanya sedikit.” Allahu a’lam


Read more!

PEMILU SARANA PERUBAHAN

Beberapa hari lagi kita akan melakukan Pemilu yang diselenggarakan oleh Pemerintahan Indonesia. Dan pesta demokrasi pun dimulai. Dengan itu pula komentar pembela dan penghujat demokrasi bertebaran. Saling serang sana-sini, saling lempar pernyataan dan klaim sepihak. Dan ini sebagian besar dilakukan oleh kalangan umat Islam sendiri.


Demokrasi menantang umat Islam untuk bertanding! Bagi yang tidak ingin bertanding sebaiknya diam dan menjadi penonton setia, dan bagi pemainnya sebaiknya tidak perlu mengikuti komentar-komentar penonton yang pada hiruk-pikuk berteriak-teriak.

Pemain sudah selayaknya berkonsentrasi kepada cara pemenangan pertandingan tersebut, tentunya dengan sesuai syar’i. Tingkat ke syar’ian ini pun sering menjadi polemik, antara komentar penonton dan para pemain yang sedang bertanding.

Itulah ibarat atlit yang sedang bertanding dengan dilihat penonton yang selalu bersorak-sorai, tak lupa dengan komentar celaan, makian maupun hujatan. Itu sudah biasa!

Dan seperti halnya, demokrasi adalah sebuah jalan sebagai prasarana yang hanya bisa dipergunakan untuk saat ini, dan partai adalah kendaraan sebagai sarana yang telah tersedia. Dengan itu kaum kafir menantang umat Islam untuk ikut serta dalam perlombaan tersebut.

Sesuatu hal yang haram dan halal telah ditetapkan secara qhot’i oleh Allah dan adapula sesuatu hukum yang bersifat halal dan haram bisa juga disesuaikan dengan ijtihad para ulama. Hal ini yang tidak boleh dinafikan. Dan inilah yang sering menjadi tolok ukur perbedaan ulama satu dengan yang lainnya. Mungkin kita perlu mengingat peringatan Allah kepada kita : “Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.’ Katakanlah: ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan (kedustaan) terhadap Allah?’ Apakah dugaan orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah pada hari kiamat? Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak bersyukur.” (QS.Yūnus 59-60)

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung.” (QS. An-Nahl 116)

Sebuah ijtihad ulama tidak dapat dinyatakan mutlak kebenarannya dari ulama yang lainnya. Dengan kata lain, sesuatu yang diharamkan oleh ulama belum tentu sesuatu tersebut diharamkan oleh Allah.

Dan demokrasi itu sendiri adalah hal yang menjadi perdebatan para ulama, ada yang menyatakan halal untuk mengikuti demokrasi selama tidak meyakininya, dan ada yang mengharamkannya karena ke-tasyabuh-annya. Mungkin kita perlu mengingat pendapat seorang ulama yang menjadi banyak disepakati para ulama (al-Fakhr ar-Rāzi) “yaitu sesuatu yang bermanfaat adalah halal dan sesuatu yang mendatangkan mudharat adalah haram”. Jika demokrasi mampu mendatangkan kemaslahatan untuk kembali tegaknya khilafah Islamiyah, lalu apakah itu mutlak diharamkan?

Demokrasi adalah ajang latihan para umat Islam untuk dapat mengelola sebuah Daulah atau bahkan Khilafah. Ini adalah training untuk mendapatkan kembali kejayaan Islam. Sesungguhnya mengelola sebuah daerah tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, ada banyak masalah yang harus dipecahkan, ada banyak agenda yang harus diselesaikan.

Semua itu perlu latihan dengan tujuan yang jelas. Semua itu ketika umat Islam dapat memenangkan arena pertandingan ini (demokrasi).

Lalu seandainya umat Islam tidak ada yang mengikuti alur demokrasi itu sendiri, apakah mampu mereka menguasai sebuah daerah dengan legalitas yang jelas? Tentu tidak.

Tentu yang mendapatkan dan menguasai sebuah daerah tersebut pasti orang-orang non Islam. Dan umat Islam hanya menjadi kacung-kacung yang hanya mampu berteriak tetapi tidak mampu bertindak apapun.

Dan seandainya saja, umat Islam memenangkan golput. Apakah dengan golput bisa menguasai sebuah daerah? Tentu tidak, pemilu bukanlah sebuah rapat yang jika tidak dihadiri quota peserta rapat menjadi tidak sah. Kemenangan golput hanya mampu menjatuhkan sebuah kredibilitas pemerintahan tetapi bukan sebuah legalitas.

Dengan demokrasi ini Umat Islam ditantang untuk menerapkan system Islamnya yang menyeluruh dan sempurna dalam berbagai bidang. Dengan penerapan ini, jelas untuk memberikan sebuah pernyataan bahwa Islam telah memberikan solusi dari berbagai hal.

Mana mungkin Islam akan tegak dengan kata? Karena Rasulullah sendiri tidak hanya berkata-kata, tetapi menerapkan sistem syariat Islam kedalam pemerintahannya tanpa harus berteriak-teriak “tegakkan syari’at!”. (FA/inilah)


Read more!

PEMILU PALESTINA DIUNDUR

dakwatuna.com – Ramallah, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Palestina mengumumkan pelaksanaan pemilu yang rencananya dilaksanakan pada Januari tahun mendatang diundur waktunya.



Hanna Naser, Ketua KPU dalam konfrensi pers kemarin, Kamis (12/11) mengatakan;”Komisi akan rapat hari ini (Kamis) dan memutuskan akan menyampaikan kepada Mahmud Abbas yang menyerukan pelaksanaan pemilu bahwa komisi tidak bias menjalankan pelaksanaan pesta demokrasi itu sesuai waktu yang ditentukan oleh Abbas.”

Sebelumnya, Reuters menukil ucapan salah satu petinggi Fatah yang mengatakan bahwa KPU Palestina akan merekomendasikan penundaan pemilu yang sedianya dilaksanakan pada tanggal 24 Januari 2010. Para pengamat politik memprediksi bahwa pemerintah Otoritas Palestina (OP) akan menerima rekomendasi itu dan menunda pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden secara bersamaan.

Kantor berita Inggris itu menyebutkan bahwa petinggi Fatah yang tidak mau disebutkan namanya tersebut menegaskan bahwa “KPU akan merekomendasi penundaan pemilu karena Hamas menolak pelaksanaannya di Jalur Gaza.”

Petinggi Fatah itu menambahkan bahwa rekomendasi itu telah disampaikan kepada Abbas yang di dalam banyak kesempatan menyampaikan kesiapannya menunda pemilu jika Hamas merubah sikapnya dan setujui dengan kesepakatan rekonsiliasi.

Sebelumnya diberitakan bahwa Mahmud Abbas, Kepala OP yang berakhir masa jabatannya, telah menentukan tanggal 24 Januari 2010 adalah tanggal pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden setelah Hamas menunda menandatangani draf rekonsiliasi yang disodorkan oleh Mesir. Sementara itu Ketua Parlemen Palestina, DR. Aziz Duweik Rabu (13/11) mengatakan bahwa Hamas akan menandatangani draf Mesir itu di akhir bulan November ini. (Assiramani/ip)


Read more!